Sunday, January 22, 2012

di sudut kebebasan

Saya seperti diungsikan.

Saya duduk sendiri di ujung pantai entah di mana, di atas batu karang. Sendiri.

Hanya deburan ombak yang mampu saya pandangi. Sesekali saya menutup mata untuk berpikir, dalam gelap, terdengar bisikan angin dan kicauan burung. Laut. Penuh kebebasan.

Saya tak mampu banyak bergerak. Karang yang ku duduki cukup licin dan tak cukup memberikan keleluasaan untuk bergerak. Saya sungguh diungsikan. Oleh Tuhan. Mungkin.


Maka hanya ombak ku dedikasikan mataku untuk memandang. Selepasnya hanya laut bebas yang ramai tapi sendu dengan birunya yang ambigu.

Aku diungsikan sendiri--seperti dipaksa--mendengarkan celoteh alam lewat semua keriuhan yang sepi ini.

Akhir-akhir ini sepertinya saya terlalu banyak meminta.

Saya lupa untuk bersyukur.

Ini bencana; maka Tuhan mengungsikan saya di sudut laut ini sendiri. Agar saya tidak hancur dengan kerusakan yang saya buat sendiri dengan sadar.






Saturday, January 7, 2012

HUJAN

Aku menutup mata. Mendengar irama alam yang sederhana. Memanggil bebebrapa peri dari dalam imajinasi, mengajaknya ikut bermain, dan kutawarkan siapa saja yang ingin bernyanyi... Aku memebiarkan diri semakin masuk dalam irama alam yang sederhana. Aku berjumpa dengan sunyi di sini. Ia mengajak Damai. Katanya, Damai baru benar-benar akan datang jika aku memberikan semua ambisi dan sedihku. Peri-peri yang menari di atas kepala ku dengan sigap masuk satu persatu ke dalam dadaku dan mengambil berkarung-karung sedih dan ambisi. Aku mulai melihat Damai. Iya menari, melompat mengikuti alunan irama alam yang sederhana. Sunyi mulai berubah bentuk menjadi embun yang bening. Kemudian para peri kembali menari. Tetesan embun semakin menjadi-jadi. Damai melompat-lompat, sesekali memamerkan sayap. Irama ini indah. Aku suka hujan.